Pages

Senin, 01 November 2010

Bahkan Malaikat Pun Terpekur Muram (Terhatur serimbun haru dan jutaan air mata untuk saudara-saudara ku di wasior, kepulauan mentawai dan Merapi)

“Air tenang itu suatu waktu bergejolak

Panik! Mencekam!

Ribuan jiwa mengerang, merintih dan meratap

Sementara diatas sana, beribu pula mata teduh yang bersedih

Menetes, luruh ke bumi”

Samudra bergejolak saat lempeng bertubrukan. Bumi pun tiba-tiba bergetar hebat, bagaikan ingin merekah. Tak lama, debur air yang senantiasa mesra mencium bibir pantai, kini bagaikan mengamuk membabi-buta. Bergulung-gulung melibas yang menghadang lajunya. Memaksa pepohonan dan bangunan untuk tunduk sujud kepada-Nya. Membuat kecut banyak hati yang selama ini mungkin lalai menyembah. Sementara jiwa yang bersih semakin tunduk akan kebesaran Allah azza wa jalla.

Ratusan tangan berusaha menggapai apa saja. Ratusan kaki pula mencoba berlari sekuat tenaga. Namun apalah daya, gelombang mahadasyat merampasnya dengan paksa. Lalu, direnggutnya orang-orang tercinta dari sisi mereka yang hanya mampu menatap pasrah. Sekejap, Mentawai itupun porak poranda.

Sementara di daerah lain luapan asap panas merenggus, membakar apa saja yang dilewatinya. Berbagai jiwapun sontak berlari sekuat tenaga tuk dapan menghindar darinya. Namun, tak sedikit pula yang kalah dan terbakar. Astaghfirullah.

Suasana hari yang biasanya ceria, kini berganti mencekam. Panik! Disana-sini hanya terdengar erangan, rintihan dan ratapan. Jutaan do’a seketika menghabur ke angkasa, suasananya bergemuruh membahana. Meremukkan ruang batin bagi setiap jiwa yang mendengarnya. Saat itu , sangkakala bagaikan telah ditiupkan. Gaungnya menyampaikan kabar tentang duka nestapa dan juga kematian.

Lantas…

Terpampanglah pemandangan yang kembali menyentak kesadaran. Ratusan mayat bergelimpangan dengan tubuh membengkak dan ada juga yang terpanggang. Tegeletak ditrotoar jalan, mengapung dipinggir sungai atau tersangkut dipepohonan. Ada pula yang tersembul dari setiap sudut rumah, terjepit direruntuhan, bahkan terkubur dalam tumpukan sampah. Bau tak sedap kemudian menyengat dari segala sudut arah. Aromanya mengundang lalat berdansa suka cita.

Banyak diantaranya anak-anak tanpa dosa. Wajah polosnya terlihat tersenyum bahagia, menanti saat harus dikebumikan dalam lubang-lubang besar. Secarcik kain using cukuplah sebagai pengganti kain kafan. Sementara yang masih hidup diam termangu. Lantas sambil berurai air mata tertatih tatih melangkah kecil mencari ayah dan bunda. Pun, tak tahu pula dengan masa depannya karena hidup kini sebatang kara.

Tampak juga disebuah sisi jalan, beberapa orang dewasa bahkan terlihat telah terguncang jiwanya. Sementara beribu wajah lainnya pias, didera katakutan. Mata kuyu, dan tubuhpun gemetar karena rasa lapar yang teramat sangat. Air bening tak usai beruah diwajah mereka, ditingkahi teriakan histeris menyayat hati siapa pun yang mendengar. Jutaan butir air mata itu seakan tak mampu menghapus rasa duka yang begitu mendalam. Bahkan, tetesannya tak akan dapat membersihkan lumpur dan debu kental dijalanan.

Mungkin butuh banyak waktu untuk melihat Wasior, Mentawai serta merapi pulih seperti sedia kala. Pun, entah kapan bisa terukir senyum diwajah mereka kembali, karena hari-hari yang nanti dilalui pasti semakin hening dan sepi. Tak aka ada lagi senandung buaian cinta yang dilantunkan ibunda untuk menghantar lelap buah hatinya. Keajaiban pula untuk mendengar kembali canda mesra istri-istri dan para suaminya. Mereka telah tiada, pergi untuk selama-lamanya. Rasanya hanya helaan napas berat yang terdengar atau bunyi tetesan butir air mata yang jatuh membasahi tanah.

Astaghfirullah…

Tak usah semaikan lara dihati, karena memang dirimu tak akan pernah sendiri. Lihatlah, bahkan dilangit malaikat pun terpekur muram dengan wajah sedih. Sepasang matanya yang teduh turut menangisi isi bumi.

Bernyanyi dan menarilah dengan riang gembira dialam sana. Ajak ananda tercinta bermain air di sungai-sungai kecil dan tenang. Biarkan tangan mungil mereka asyik menangkap ikan-ikan karena tak aka nada Tsunami atau letusan gunung berapi yang mencekam. Bacakan pula dongeng dan kisah kepahlawanan para pejuang dibawah pohon-pohon rindang. Jangan khawatir, takut dan resah, bukankanh disana kedamaiaan yang abadi setiap saat menyapa. Suasana pun pasti menyenangkan seperti yang selama ini engkau impikan.

Maka berbahagialah saudaraku.

Salam duka dariku untuk saudara-saudara seiman dan sebangsaku_Yudhistira Pembelajar